Ummu Fauzi Untuk Al-Mustaqbal.net
Ummat Islam pernah mencapai masa
kejayaannya yang ditandai oleh kemakmuran, keadilan, ketentraman serta
kebahagiaan hidup. Kesemuanya itu terwujud berkat naungan hukum Islam
yang diterapkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Penerapan hukum
Islam tersebut tidak bisa dilepaskan dari peranan para pemimpin dan
penguasa Muslim yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Allah swt.
Para pemimpin senantiasa memelihara dan mengikuti ajaran-ajaran Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Para pemimpin selalu menyatu dengan
rakyatnya dan membuka diri untuk menerima pengaduan mengenai segala
persoalan. Pemimpin yang senantiasa menghormati para ulama, menghargai
nasihat dan fatwa mereka. Pemimpin yang tidak hanya bisa memerintah dari
belakang meja kekuasaan, tetapi juga melibatkan diri dalam setiap
gerakan jihad fie sabilillah. Mereka selalu ingat dengan nasihat
Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq r.a ; “Suatu kaum yang meninggalkan jihad
pasti akan jatuh hina.”
Oleh karenanya, tidaklah heran kalau pada
masa itu para pemimpin kaum Muslimin mampu mencapai kemenangan yang
membawa harum nama Islam dan sekaligus membawa mereka pada puncak
kejayaan. Kemenangan gemilang yang telah membebaskan manusia dari segala
macam bentuk perbudakan dan kejatuhan moral. Sejarah telah mencatat
kejayaan tersebut, dan bukti-buktinya masih bisa disaksikan sampai
sekarang.Bukti-bukti sejarah itu tidak dapat dipungkiri, kecuali bagi
orang-orang yang merasa dengki terhadap kebangkitan Islam.
Para sejarawan Muslim juga banyak menulis
tentang kedzaliman yang dilakukan para penguasa. Selain itu kita juga
bisa mempelajari peran para ulama yang tidak tinggal diam terhadap
kedzaliman yang melanda umat. Para ulama serentak bangkit melawan
kemunkaran dan kesewenang-wenangan para penguasa yang telah menyalah
gunakan kekuasaannya. Apabila ada seorang pejabat yang bertindak
merugikan rakyat, maka ulamalah yang pertama kali berkewajiban untuk
memperingatkannya. Rasulullah saw bersabda ;
“Tolonglah saudaramu yang dzalim dan
yang didzalimi.” Seorang shahabat bertanya ,”Ya Rasulullah, aku menolong
orang yang didzalimi dan bagaimana aku akan menolong orang yang dzalim
?” Beliau berkata, “Engkau melarangnya dari perbuatan dzalim, itulah
upayamu untuk menolongnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Pada masa kejayaan Islam dahulu, tidak
ada seorang penguasa yang menyalah gunakan kekuasaannya tanpa
mendapatkan teguran dan peringatan dari ulamanya. Bagaimanapun
kedudukannya, apakah dia sultan, khalifah atau pemegang jabatan lain,
apabila menyalah gunakan jabatan sehingga merugikan masyarakat, pasti
akan mendapatkan peringatan dari para ulama hingga mereka memperbaiki
kesalahan dan kembali ke jalan yang benar. Tetapi pada bagian sejarah
yang lain, tercatat pula suatu masa dengan penguasa penuh keangkuhan dan
mengabaikan kedudukan para ulama. Sikap demikian sebenarnya hanyalah
dipengaruhi oleh perasaan gengsi, karena menganggap dirinya lebih
berkuasa, dan apa yang diperbuatnya tidak boleh diganggu gugat.
Para ulama, lengkap dengan suka dan duka,
menghadapi segala tantangan dalam segala bentuknya tatkala berhadapan
dengan penguasa yang dihinggapi penyakit ‘cinta dunia’ (wahn). Para
ulama telah berjuang dengan gigih dan penuh keberanian dalam memberikan
sumbangan nyata bagi kemaslahatan ummat. Sejarah keberhasilan mereka
telah memenuhi lembaran kitab dalam berbagai bahasa . Semua itu
membuktikan kepada dunia, betapa besar jasa Islam dan yang telah
berkorban bagi kepentingan seluruh ummat. Harus diakui, bahwa syarat
untuk mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur, yaitu adanya
hubungan kerja sama yang baik antara penguasa dan ulama. Masing-masing
saling menghormati , saling memberi dan menerima, serta memahami
kedudukannya dalam menegakkan kepentingan umum.
Pada hakikatnya jabatan hakim atau qadhi
itu haruslah dipegang oleh ulama yang luas pengetahuannya serta mengerti
benar hukum-hukum syari’at, sebagaimana telah dicontohkan sejak jaman
Rasulullah saw dan para shahabat. Para ulamalah yang diserahi tugas
sebagai hakim yang menyelesaikan setiap perkara baik itu pidana,
perdata, atau segala persoalan yang berkenaan dengan warisan dan
pernikahan.
Tetapi masa kejayaan itu memudar dengan
jatuhnya pemerintahan Islam. Terjadilah perbedaan arah antara para ulama
dan penguasa. Penguasa cenderung mengikuti keinginan nafsunya untuk
berbuat kemunkaran, sedangkan sebagian ulama tidak memiliki keberanian
untuk melarangnya. Maka di saat itulah hukum Islam diputar balikkan dan
diganti dengan hukum yang dibuat menurut pemikiran manusia. Meskipun
kaum Muslimin telah dijajah oleh penjajah kafir, namun pendirian para
ulama masih tetap teguh pada prinsip. Pada saat itu para hakim diserahi
tugas mengawasi segala kepentingan Islam yang berkaitan dengan sosial
budaya, perdagangan dan ekonomi, pendidikan, politik dalam dan luar
negeri, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum, sebagaimana
yang juga berlaku pada masa kekuasaan Islam. Masalah yang berkaitan
dengan hukum perkawinan seperti nikah, talak, rujuk, nafkah dan
masalah-masalah rumah tangga lainnya tetap diberlakukan seperti biasa
meskipun di sana-sini sudah ada perubahan.
Adapun sektor hukum yang berlaku pada masa pemerintahan Islam dibagi dalam tujuh bagian ;
1.Khalifah sebagai kepala negara.
2.Menteri-menteri (wazir) sebagai pembantu-pembantu Khalifah.
3.Gubernur atau wali sebagai pengatur pemerintahan di wilayah atau daerah tertentu.
4.Hakim (Qadhi) sebagai aparat peradilan.
5. Angkatan Bersenjata sebagai aparat keamanan dan ketertiban.
6.Para pegawai sebagai petugas administrasi negara.
7.Majelis Syura.
Kepala negara atau Khalifah diangkat
melalui bai’at, bukan dijabat secara turun-temurun. Sistem pewarisan
kekuasaan seperti yang banyak diterapkan pada kerajaan-kerajaan Islam
pada masa-masa selanjutnya, sebetulnya sudah menyimpang dari ajaran
Islam. Islam mengajarkan bahwa seorang Khalifah atau kepala negara harus
dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam
pelaksanaannya pembai’atan itu dapat diwakilkan kepada Ahlul-halli
wal-Aqdi atau Syaikhul Islam (ulama besar). Walaupun pada hakikatnya
Islam sangat menekankan pembai’atan itu dilakukan oleh rakyat secara
langsung, tetapi dengan melalui Ahlul-hilli wal-Aqdi atau Syaikhul Islam
dapat dihilangkan faham pewarisan dalam jabatan pemerintahan.
Banyak terjadi salah pengertian dalam
menilai pemerintahan Islam. Banyak yang menganggap bahwa hukum Islam itu
tidak dilaksanakan sepenuhnya. Kesalahan pengertian tersebut dapat
dihindari apabila diperhatikan hal-hal sebagai berikut ;
Pertama ; Sejarah pelaksanaan
hukum Islam banyak yang ditulis oleh orang-orang yang membenci Islam,
atau oleh orang-orang munafik yang berpura-pura masuk Islam karena
maksud-maksud tertentu. Pelaksanaan hukum Islam hendaknya dipelajari
melalui tulisan-tulisan para sejarawan Muslim yang adil dan jujur, bukan
sejarah yang ditulis oleh orang-orang yang senantiasa menitikberatkan
pada pertentangan madzhab. Bahkan ada pula sebagian penulis yang tunduk
pada keinginan para penguasa, sehingga cenderung mengadakan penilaian
secara sepihak. Para penulis sejarah itu hanya melihat dari satu segi,
sesuai dengan keinginan penguasa dalam usahanya menyalah gunakan
kekuasaan.
Kedua ; Penulisan sejarah
sebetulnya tidak dibenarkan hanya bersandar pada perkiraan atau ucapan
para pejabat. Demikian pula tidak dibenarkan orang hanya memberikan
penilaian dari segi negatif saja dengan kesimpulan, bahwa semuanya
negatif. Demikian halnya apa yang dilakukan oleh seorang penulis
sejarah, dengan hanya membandingkan sejarah Bani Umayyah dengan Yazid
bin Muawiyah dan Al-Hajjaj bin Yusuf. Kemudian menjatuhkan hukuman
kepada Bani Abbas dengan berbagai macam tuduhan. Sebenarnya seorang
penulis sejarah yang jujur tentulah akan menyoroti segenap persoalan itu
dari berbagai segi, baik segi positif ataupun negatifnya, sehingga
permasalahannya yang ditulis menjadi jelas.
Ketiga ; Untuk dapat mengetahui
keadaan dan kehidupan suatu masyarakat, seharusnya ditinjau dari bentuk
yang diterapkan oleh penguasa terhadap rakyatnya, serta cara-cara
pelaksanaannya. Untuk mengetahui hal tersebut dapat ditempuh melalui dua
jalan ;
a.Mengetahui sumber pemberitaan hukum
atau peraturan yang pernah berlaku. Hukum dan peraturan yang pernah
berlaku dalam suatu masyarakat dapat difahami dengan mempelajari
bagaimana suatu masalah sosial dipecahkan. Sesungguhnya sumber hukum dan
peraturan Islam adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah yang diperjelas dalam
kitab-kitab fiqih.
b.Mengetahui sumber pemberitaan tentang
bagaimana hukum dan peraturan itu dijalankan oleh paa hakim terhadap
para pelanggar hukum tersebut untuk mengetahui pelaksanaan hukum
tersebut, para penulis sejarah dapat mengkaji melalui hal-hal sebagai
berikut ; melalui buku-buku sejarah yang terpercaya, melalui bukti-bukti
peninggalan sejarah, dan sumber-sumber pemberitaan yang terpercaya.
Sesungguhnya kedaulatan Islam pada masa
kejayaan Islam dahulu seperti halnya bunga yang harum di tengah-tengah
masyarakat dunia. Kepadanya tertujulah harapan ummat yang terbelenggu
dan tertindas yang ingin bernaung di bawah perlindungannya. Setiap
penyelewengan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara tidak
akan luput dari teguran para ulama. Para ulama tidak merasa gentar
menghadapi segala macam ancaman, sekalipun membawa resiko kematian.
Mereka berjuang karena dan untuk Allah swt, karena merasa berkewajiban
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi ada juga di antara para
ulama yang mau bekerja sama dengan penguasa, yang mana ulama semacam ini
tidak merasa segan untuk menukar yang haq dengan yang bathil,
membenarkan atau menutup-nutupi kesalahan para penguasa. Ulama semacam
ini telah berani menjual agamanya dengan perhiasan kebendaan. Tetapi
kejadian seperti itu bukanlah hal yang mengherankan, karena para ulama
adalah manusia biasa, bukan malaikat. Mereka bisa salah dan keliru
seperti yang disinggung dalam sebuah hadits,
“Setiap anak Adam bisa salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah, apabila ia lekas bertaubat.” (Hadits)
Sumber : Buku “Al Islaamu Bainal Ulama
Wal Hukkaam” Penulis ; Syekh Abdul ‘Azis Al-Badri. Penerbit ; Maktabah
Ilmiyah, Madinah Munawaroh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar