LAILAHAILLAH_MUAHAMMADURASULULLAH

2013/01/30

Ulama dan Penguasa Pada Masa Kejayaan Islam


blue-mosque-600x340 
Ummu Fauzi Untuk Al-Mustaqbal.net
Ummat Islam pernah mencapai masa kejayaannya yang ditandai oleh kemakmuran, keadilan, ketentraman serta kebahagiaan hidup. Kesemuanya itu terwujud berkat naungan hukum Islam yang diterapkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Penerapan hukum Islam tersebut tidak bisa dilepaskan dari peranan para pemimpin dan penguasa Muslim yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. Para pemimpin senantiasa memelihara dan mengikuti ajaran-ajaran Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Para pemimpin selalu menyatu dengan rakyatnya dan membuka diri untuk menerima pengaduan mengenai segala persoalan. Pemimpin yang senantiasa menghormati para ulama, menghargai nasihat dan fatwa mereka. Pemimpin yang tidak hanya bisa memerintah dari belakang meja kekuasaan, tetapi juga melibatkan diri dalam setiap gerakan jihad fie sabilillah. Mereka selalu ingat dengan nasihat Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq r.a ; “Suatu kaum yang meninggalkan jihad pasti akan jatuh hina.”
Oleh karenanya, tidaklah heran kalau pada masa itu para pemimpin kaum Muslimin mampu mencapai kemenangan yang membawa harum nama Islam dan sekaligus membawa mereka pada puncak kejayaan. Kemenangan gemilang yang telah membebaskan manusia dari segala macam bentuk perbudakan dan kejatuhan moral. Sejarah telah mencatat kejayaan tersebut, dan bukti-buktinya masih bisa disaksikan sampai sekarang.Bukti-bukti sejarah itu tidak dapat dipungkiri, kecuali bagi orang-orang  yang merasa dengki terhadap kebangkitan Islam.
Para sejarawan Muslim juga banyak menulis tentang kedzaliman yang dilakukan para penguasa. Selain itu kita juga bisa mempelajari peran para ulama yang tidak tinggal diam terhadap  kedzaliman yang melanda umat. Para ulama serentak bangkit melawan kemunkaran dan kesewenang-wenangan para penguasa yang telah menyalah gunakan kekuasaannya. Apabila ada seorang pejabat yang bertindak merugikan rakyat, maka ulamalah yang pertama kali berkewajiban untuk memperingatkannya. Rasulullah saw bersabda ;
“Tolonglah saudaramu yang dzalim dan yang didzalimi.” Seorang shahabat bertanya ,”Ya Rasulullah, aku menolong orang yang didzalimi dan bagaimana aku akan menolong orang yang dzalim ?” Beliau berkata, “Engkau melarangnya dari perbuatan dzalim, itulah upayamu untuk menolongnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Pada masa kejayaan Islam dahulu, tidak ada seorang penguasa yang menyalah gunakan kekuasaannya tanpa mendapatkan teguran dan peringatan dari ulamanya. Bagaimanapun kedudukannya, apakah dia sultan, khalifah atau pemegang jabatan lain, apabila menyalah gunakan jabatan sehingga merugikan masyarakat, pasti akan mendapatkan peringatan dari para ulama hingga mereka memperbaiki kesalahan dan kembali ke jalan yang benar. Tetapi pada bagian sejarah yang lain, tercatat pula suatu masa dengan penguasa penuh keangkuhan dan mengabaikan kedudukan para ulama. Sikap demikian sebenarnya hanyalah dipengaruhi oleh perasaan gengsi, karena menganggap dirinya lebih berkuasa, dan apa yang diperbuatnya tidak boleh diganggu gugat.
Para ulama, lengkap dengan suka dan duka, menghadapi segala tantangan dalam segala bentuknya tatkala berhadapan dengan penguasa yang dihinggapi penyakit ‘cinta dunia’ (wahn). Para ulama telah berjuang dengan gigih dan penuh keberanian dalam memberikan sumbangan nyata bagi kemaslahatan ummat. Sejarah keberhasilan mereka telah memenuhi lembaran kitab dalam berbagai bahasa . Semua itu membuktikan kepada dunia, betapa besar jasa Islam dan yang telah berkorban bagi kepentingan seluruh ummat. Harus diakui, bahwa syarat untuk mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur, yaitu adanya hubungan kerja sama yang baik antara penguasa dan ulama. Masing-masing saling menghormati , saling memberi dan menerima, serta memahami kedudukannya dalam menegakkan kepentingan umum.
Pada hakikatnya jabatan hakim atau qadhi itu haruslah dipegang oleh ulama yang luas pengetahuannya serta mengerti benar hukum-hukum syari’at, sebagaimana telah dicontohkan sejak jaman Rasulullah saw dan para shahabat. Para ulamalah yang diserahi tugas sebagai hakim yang menyelesaikan setiap perkara baik itu pidana, perdata, atau segala persoalan yang berkenaan dengan warisan dan pernikahan.
Tetapi masa kejayaan itu memudar dengan jatuhnya pemerintahan Islam. Terjadilah perbedaan arah antara para ulama dan penguasa. Penguasa cenderung mengikuti keinginan nafsunya untuk berbuat kemunkaran, sedangkan sebagian ulama tidak memiliki keberanian untuk melarangnya. Maka di saat itulah hukum Islam diputar balikkan dan diganti dengan hukum yang dibuat menurut pemikiran manusia. Meskipun kaum Muslimin telah dijajah oleh penjajah kafir, namun pendirian para ulama masih tetap teguh pada prinsip. Pada saat itu para hakim diserahi tugas mengawasi segala kepentingan Islam yang berkaitan dengan sosial budaya, perdagangan dan ekonomi, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum, sebagaimana yang juga berlaku pada masa kekuasaan Islam. Masalah yang berkaitan dengan hukum perkawinan seperti nikah, talak, rujuk, nafkah dan masalah-masalah rumah tangga lainnya tetap diberlakukan seperti biasa meskipun di sana-sini sudah ada perubahan.
Adapun sektor hukum yang berlaku pada masa pemerintahan Islam dibagi dalam tujuh bagian ;
1.Khalifah sebagai kepala negara.
2.Menteri-menteri (wazir) sebagai pembantu-pembantu Khalifah.
3.Gubernur atau wali sebagai pengatur pemerintahan di wilayah atau daerah tertentu.
4.Hakim (Qadhi) sebagai aparat peradilan.
5. Angkatan Bersenjata sebagai aparat keamanan dan ketertiban.
6.Para pegawai sebagai petugas administrasi negara.
7.Majelis Syura.
Kepala negara atau Khalifah diangkat melalui bai’at, bukan dijabat secara turun-temurun. Sistem pewarisan kekuasaan seperti yang banyak diterapkan pada kerajaan-kerajaan Islam pada masa-masa selanjutnya, sebetulnya sudah menyimpang dari ajaran Islam. Islam mengajarkan bahwa seorang Khalifah atau kepala negara harus dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam pelaksanaannya pembai’atan itu dapat diwakilkan kepada Ahlul-halli wal-Aqdi atau Syaikhul Islam (ulama besar). Walaupun pada hakikatnya Islam sangat menekankan pembai’atan itu dilakukan oleh rakyat secara langsung, tetapi dengan melalui Ahlul-hilli wal-Aqdi atau Syaikhul Islam dapat dihilangkan faham pewarisan dalam jabatan pemerintahan.
Banyak terjadi salah pengertian dalam menilai pemerintahan Islam. Banyak yang menganggap bahwa hukum Islam itu tidak dilaksanakan sepenuhnya. Kesalahan pengertian tersebut dapat dihindari apabila diperhatikan hal-hal sebagai berikut ;
Pertama ; Sejarah pelaksanaan hukum Islam banyak yang ditulis oleh orang-orang yang membenci Islam, atau oleh orang-orang munafik yang berpura-pura masuk Islam karena maksud-maksud tertentu. Pelaksanaan hukum Islam hendaknya dipelajari melalui tulisan-tulisan para sejarawan Muslim yang adil dan jujur, bukan sejarah yang ditulis oleh orang-orang yang senantiasa menitikberatkan pada pertentangan madzhab. Bahkan ada pula sebagian penulis yang tunduk pada keinginan para penguasa, sehingga cenderung mengadakan penilaian secara sepihak. Para penulis sejarah itu hanya melihat dari satu segi, sesuai dengan keinginan penguasa dalam usahanya menyalah gunakan kekuasaan.
Kedua ; Penulisan sejarah sebetulnya tidak dibenarkan hanya bersandar pada perkiraan atau ucapan para pejabat. Demikian pula tidak dibenarkan orang hanya memberikan penilaian dari segi negatif saja dengan kesimpulan, bahwa semuanya negatif. Demikian halnya apa yang dilakukan oleh seorang penulis sejarah, dengan hanya membandingkan sejarah Bani Umayyah dengan Yazid bin Muawiyah dan Al-Hajjaj bin Yusuf. Kemudian menjatuhkan hukuman kepada Bani Abbas dengan berbagai macam tuduhan. Sebenarnya seorang penulis sejarah yang jujur tentulah akan menyoroti segenap persoalan itu dari berbagai segi, baik segi positif ataupun negatifnya, sehingga permasalahannya yang ditulis menjadi jelas.
Ketiga ; Untuk dapat mengetahui keadaan dan kehidupan suatu masyarakat, seharusnya ditinjau dari bentuk yang diterapkan oleh penguasa terhadap rakyatnya, serta cara-cara pelaksanaannya. Untuk mengetahui hal tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan ;
a.Mengetahui sumber pemberitaan hukum atau peraturan yang pernah berlaku. Hukum dan peraturan yang pernah berlaku dalam suatu masyarakat dapat difahami dengan mempelajari bagaimana suatu masalah sosial dipecahkan. Sesungguhnya sumber hukum dan peraturan Islam adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah yang diperjelas dalam kitab-kitab fiqih.
b.Mengetahui sumber pemberitaan tentang bagaimana hukum dan peraturan itu dijalankan oleh paa hakim terhadap para pelanggar hukum tersebut untuk mengetahui pelaksanaan hukum tersebut, para penulis sejarah dapat mengkaji melalui hal-hal sebagai berikut ; melalui buku-buku sejarah yang terpercaya, melalui bukti-bukti peninggalan sejarah, dan sumber-sumber pemberitaan yang terpercaya.
Sesungguhnya kedaulatan Islam pada masa kejayaan Islam dahulu seperti halnya bunga yang harum di tengah-tengah masyarakat dunia. Kepadanya tertujulah harapan ummat yang terbelenggu dan tertindas yang ingin bernaung di bawah perlindungannya. Setiap penyelewengan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara tidak akan luput dari teguran para ulama. Para ulama tidak merasa gentar menghadapi segala macam ancaman, sekalipun membawa resiko kematian. Mereka berjuang karena dan untuk Allah swt, karena merasa berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi ada juga di antara para ulama yang mau bekerja sama dengan penguasa, yang mana ulama semacam ini tidak merasa segan untuk menukar yang haq dengan yang bathil, membenarkan atau menutup-nutupi kesalahan para penguasa. Ulama semacam ini telah berani menjual agamanya dengan perhiasan kebendaan. Tetapi kejadian seperti itu bukanlah hal yang mengherankan, karena para ulama adalah manusia biasa, bukan malaikat. Mereka bisa salah dan keliru seperti yang disinggung dalam sebuah hadits,
“Setiap anak Adam bisa salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah, apabila ia lekas bertaubat.” (Hadits)
Sumber : Buku “Al Islaamu Bainal Ulama Wal Hukkaam” Penulis ; Syekh Abdul ‘Azis Al-Badri. Penerbit ; Maktabah Ilmiyah, Madinah Munawaroh.

source:al-mustaqbal.net




Tidak ada komentar:

Posting Komentar